Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the stm_post_type domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/pirac/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Unit Usaha Tulang Punggung Rakom Simponi - Public Interest Research and Advocacy Center - PIRAC

Unit Usaha Tulang Punggung Rakom Simponi

RANOOHA – Sebenarnya kawasan Desa Ranooha Lestari, Kecamatan Buke, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara terlihat gersang, apalagi saat matahari bersinar terik. Debu jalanan berterbangan digilas kendaraan yang berlalu lalang. Musim panas, telah meluluh-lantakkan berhektar-hektar pertanian jambu mete yang dulu sempat menjadi primadona di desa itu. Jambu mete itu mati dan layu yang pada akhirnya harus ditebang untuk diganti dengan tanaman lain.

Sawah di kawasan ini pun menjadi sawah tadah hujan, hanya bisa diolah dan ditanam kalau musim hujan sudah datang. Jika tak ada hujan, sawah akan retak-retak karena kering. Harapan penduduk pun tergantung pada pertanian Kakao (coklat) dan penyadapan nira kelapa yang terbilang tidak banyak tingkahnya karena pergantian musim.

Kondisi ekonomi 200 KK penduduk Ranooha Lestari ini, tidak jauh berbeda dengan penduduk di desa lain yang terjangkau oleh gelombang Radio Komunitas (Rakom) Simponi yang berdiri di kawasan Ranooha Lestari itu. Mereka hidup juga bertani hanya sebagian saja yang menjadi pengusaha di pasar, yang menampung hasil pertanian dan menjualnya ke kota.

Ranooha Lestari sendiri berada di sekitar jalan utama menuju kawasan transmigrasi. Desa ini dimukimi oleh sebagian besar etnik Jawa dan Bali yang membeli tanah di sekitar jalan utama itu, sebelumnya sebagian besar penduduk Rahoona Lestari itu adalah bagian dari penduduk transmigrasi yang berada 20 KM dari kawasan tersebut. Kawasan transmigrasi ini dibagi atas 6 Satuan Pemukiman (SP) yang dibangun pemerintah tahun 1983. Saat itu setiap KK mendapat Rumah yang siap huni, peralatan pertanian, jaminan hidup 1 tahun, tanah 2 hektar dan bantuan food program dari PBB. Setelah dua tahun mereka diharapkan bisa hidup mandiri.

Setelah transmigrasi gelombang pertama, kemudian datang pula transmigran gelombang kedua yang kali ini tempat pemukiman mereka tidak disebut sebagai SP tapi melainkan DKB (Desa Kecil Baru), yang juga menghadirkan penduduk etnik Jawa, Bali dan Lombok. Kedatangan mereka hanya berselang beberapa bulan saja dari kedatangan penduduk yang ada di SP. Setiap KK di DKB juga mendapat jatah yang sama dengan SP.

Sejak dari tahun 1983 penduduk kedua kawasan transmigrasi itu terus berkembang dan mereka yang berpenghasilan bagus mulai mengembangkan sayapnya dengan membeli tanah dan membuat rumah di pinggiran jalan utama menuju pemukiman mereka, maka terbentuk pula desa seperti Ranooha Lestari. Karena ini berada di luar kawasan transmigrasi, penduduknya pun beragam. Di kawasan tersebut tidak lagi dihuni oleh etnik Jawa, Bali dan Lombok tapi juga translokal seperti Bugis dan Tolaki. Akhirnya kawasan tersebut menjadi kawasan usaha perdagangan yang berdiri berbagai warung yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat.

Baik penduduk kawasan transmigrasi SP dan DKB serta warga Desa Ranooha Lestari yang multi etnik adalah pendengar setia Rakom Simponi, karena memang Rakom inilah satu-satu media milik komunitas warga tersebut. Merekalah yang kompak pada awalnya mendirikan radio itu, dan mereka pulalah yang menikmatinya hingga kini sebagai media informasi dan hiburan yang selalu menemani mereka dikala beraktivitas di kebun dan di sawah. Bahkan radio ini tetap didengarkan ketika memanjat pohon kelapa saat mengambil nira.

Dengan siaran Simponi mereka merasa tak sepi meski di ladang yang luas itu hanya ada mereka sekeluarga saja. Mereka seakan terkoneksi dengan petani lain, perkembangan teknologi selular memudahkan mereka untuk saling kirim salam dan menghadiahkan lagu yang diminta untuk diputarkan penyiar Simponi di studio. Hal ini menambah semangat mereka dalam berkerja. Kehadiran Radio Simponi seperti kehadiran anggota keluarga yang membahagiakan, dan terasa sangat rindu ketika tidak mendengarkannya.

Bagi Kasmari, 49 th, yang diamanahkan mengelola Rakom Simponi, dan kebetulan kawasan rumahnya juga dijadikan studio Rakom itu, sangat senang dengan pendengar fanantik radio yang tergabung dalam organisasi fans radio tersebut. Namun ia mengaku tidak tega kalau pendanaan Rakom dibebankan seluruhnya kepada komunitas pendengar tersebut. Ia sangat paham kondisi perekenomian masyarakat setempat. Jika ada bantuan dari pendengar, ia serahkan pada mekanisme sarasehan yang melibatkan pendengar setiap bulannya. Di saat itulah jika ada gerakan donasi atau merencanakan event offair dibesutkan.

Untuk itu, bersama pengelola lainnya, Kasmari menjadikan usaha-usaha yang telah dirintisnya menjadi bagian dari usaha Rakom, artinya dari modal yang ia tanam sendiri hasilnya digunakan untuk keberlanjutan Rakom tersebut. Kasmari memang tidak menyebutkan berapa bagian yang dipersembahkan untuk Rakom Simponi, namun itu cukup untuk membeli peralatan, memperbaikinya kalau rusak dan membayar tagihan listrik untuk menjamin rakom ini tidak padam dan terus mengudara. Maifil/Sekolah Fundraising PIRAC



Leave a Reply