Filantropi Indonesia: Antara Harapan dan Hambatan Regulasi

Filantropi Indonesia: Antara Harapan dan Hambatan Regulasi

Di ruang pertemuan Hotel Horison Ultima Menteng yang teduh pada Selasa pagi, 17 Juni 2025, berkumpul 16 pakar dari berbagai lembaga untuk mendiskusikan masa depan sektor sosial Indonesia. Mereka adalah para peneliti, akademisi, dan praktisi yang tergabung dalam Focus Group Discussion (FGD) untuk Studi Indeks Kedermawanan 2026 (Doing Good Index 2026 – DGI2026)—sebuah penelitian ambisius yang berupaya memotret kondisi filantropi dan sektor sosial di Asia.

Hamid Abidin selaku fasilitator membuka diskusi dengan menyampaikan keprihatinan yang menggema di antara para peserta: “Praktik sektor sosial di Indonesia berkembang pesat, tapi regulasinya justru stagnan.” Pernyataan ini menjadi benang merah diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut.

Dilema Pengakuan dan Pengawasan

Ironi yang dihadapi sektor sosial Indonesia terungkap jelas dalam diskusi. Pemerintah mengakui sektor sosial sebagai mitra, namun pendekatan yang diterapkan lebih menekankan pada pengawasan dan pembinaan ketimbang fasilitasi. “Dalam kebijakan, sektor sosial cenderung dianggap sebagai entitas yang harus diwaspadai, bukan sebagai mitra sejajar,” ungkap Rizki Gama dari Pusat Studi Kebijakan dan Hukum (PSKH).

Kondisi ini kontras dengan praktik di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, yang memiliki mekanisme lebih sederhana untuk pengakuan lembaga amal. Di sana, cukup dengan status badan hukum, organisasi sudah bisa beroperasi sebagai charity—kecuali untuk isu-isu ekstrem seperti terorisme.

“Meski beberapa organisasi di Indonesia telah memenuhi syarat, belum ada dukungan kebijakan dari pemerintah untuk memfasilitasi status charity ini agar mereka bisa mengakses dukungan internasional,” keluh Gama.

Ketidakjelasan Definisi yang Menghambat

Salah satu akar masalah yang mengemuka adalah ketidakjelasan definisi dan klasifikasi lembaga sosial. Belum ada batasan yang tegas mengenai LSM, organisasi nirlaba, atau Civil Society Organization (CSO). Klasifikasi masih bertumpu pada bentuk hukum seperti yayasan, ormas, atau perkumpulan—padahal karakter setiap lembaga sangat berbeda.

“Ketidakjelasan ini menyebabkan pendekatan pemerintah menjadi seragam dan cenderung birokratis, bahkan dengan pendekatan keamanan yang mencurigai niat lembaga sosial,” terang Ruth Indiyah Rahyu dari Inkrispena. Dampaknya, lembaga-lembaga sosial terhambat dalam menjalankan misi sosialnya.

Kebingungan ini juga merambah ke masyarakat. “Di masyarakat, semua lembaga berbasis RT pun dianggap sebagai lembaga sosial,” jelasnya. Ekosistem lembaga sosial kerap ditarik ke dalam ranah politik, industri, dan keamanan—padahal seharusnya keberadaan mereka adalah bagian dari hak warga negara untuk bersolidaritas dan saling membantu.

Pembelajaran dari Tetangga

Diskusi juga menyoroti praktik negara lain yang bisa diadopsi Indonesia. Di Thailand, misalnya, ada lembaga independen yang memantau dan menjamin transparansi aliran dana bantuan. Hal ini penting mengingat masih ada keraguan terkait transparansi pengelolaan bantuan di Indonesia, termasuk oleh lembaga pemerintah sendiri.

Usulan konkret pun bermunculan. Lembaga filantropi, termasuk yang berbasis keagamaan, bisa mengajukan RUU Filantropi agar mendapat pembebasan pajak jika bergerak di bidang sosial. “Hal ini akan memperluas peluang pembiayaan bagi lembaga yang selama ini tidak tercakup dalam regulasi insentif pajak,” usul Ning Rahayu dari  Fakultas Ilmu Administrasi  Universitas Indonesia (FIA UI).

Menuju Filantropi yang Transformatif

Yang menarik dari diskusi ini adalah refleksi mendalam tentang arah filantropi Indonesia. Solidaritas sosial memang sering dikaitkan dengan filantropi, namun para peserta menekankan bahwa filantropi yang ideal seharusnya menyentuh aspek keadilan sosial (social justice).

“Sayangnya, kritik terhadap struktur yang menyebabkan kemiskinan sering absen. Padahal, pendekatan filantropi harus juga menyasar perubahan struktural, bukan sekadar karitas,” tegas Anik Wusari dari Indonesia  Untuk Kemanusiaan (IKa).

Langkah Konkret ke Depan

Diskusi juga menginformasikan bahwa saat ini sedang digagas riset evaluatif terhadap 20 tahun kebijakan pajak yang menyangkut lembaga filantropi. Riset ini harus terbuka terhadap partisipasi dari berbagai pihak.

Diskusi juga merefleksikan terkait perlunya Kementerian Sosial memperkuat perannya dalam ekosistem filantropi. Pemerintah harus menunjukkan dukungan konkret melalui kebijakan yang kondusif, termasuk policy brief dari Menteri dan Menko yang mendorong iklim yang mendukung. Selain itu dipeprlukan kolaborasi data antar lembaga perlu ditingkatkan. PIRAC diharapkan dapat bekerja sama dengan PKPM agar data lebih beragam dan komprehensif, mengingat saat ini Bappenas melalui OKPD hanya mencakup data Organisasi Masyarakat Sipil secara umum.

Epilog: Persoalan Bersama, Solusi Bersama

Ketika diskusi berakhir menjelang waktu makan siang, satu hal menjadi jelas: persoalan sosial di Indonesia tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. Kelompok masyarakat merupakan pilar penting yang harus diberdayakan, bukan dicurigai. Padahal keberadaan lembaga sosial adalah bagian dari hak warga negara untuk bersolidaritas dan saling membantu.

Studi Indeks Kedermawanan 2026  (Doing Good Index 2026 – DGI2026) yang sedang berlangsung ini, yang melibatkan survei terhadap 121 Social Delivery Organization (SDO) di Indonesia, diharapkan dapat memberikan peta jalan yang lebih jelas untuk masa depan sektor sosial Indonesia. Sebuah masa depan di mana filantropi tidak hanya soal memberi, tapi juga mengubah struktur yang memungkinkan ketidakadilan terus berlangsung. **NH