- 01/04/2019
- Posted by: Ari Syarifudin
- Category: Berita
Arah reformasi Indonesia 1998 yang secara prinsipil ditandai dengan pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi digulirkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Kehadiran UU No. 22 Tahun 1999 kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi landasan hukum bagi kelahiran era otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia. Kebijakan tersebut secara prinsipil berusaha untuk melakukan pendelegasian wewenang dan pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan secara implisit terkandung dorongan dernokratisasi pengelolaan sumber daya alam. Desentralisasi dan otonomi daerah dirancang untuk mendekatkan warga negara dan pemerintah. Dengan demikian kebijakan-kebijakan dihasilkan akan representatif. Pokok-pokok pikiran ini menjadi tema dalam kegiatan seminar nasional “Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)” hari kamis, 28 Maret 2019 pukul 09.00 – 12.00 wib bertempat di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Seminar ini dibuka oleh Hadi Kuntjara selaku Direktur Eksekutif The Habibie Center dan Daniel Heilmann selaku Chairman Hanns Seidel Foundation Indonesia. Dihadiri para narasumber yaitu Laode Muhammad Syarif selaku Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2015-2019, Faisal Basri selaku Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, Komaidi Notonegoro selaku Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner), dan Mohammad Hasan Ansori selaku Direktur Program dan Riset The Habibie Center serta dimoderatori oleh Zamroni Salim selaku Peneliti Ekonomi The Habibie Center dan Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI.
Direktur Eksekutif The Habibie Center, Hadi Kuntjara menjelaskan, “Penyelenggaraan seminar nasional ini bertujuan untuk melakukan refleksi kritis terhadap isu pengelolaan sumber daya alam di lndonesia serta untuk mengetahui sudah sejauh apa dan bagaimana pengelolaan sumber daya alam dì Indonesia berlangsung secara demokratis.” Akan tetapi, lanjut Hadi Kuntjara, harapan tidak selalu berbanding lurus dengan realitas politik terjadi di lapangan. Melalui pilkada langsung terjadi perpindahan kekuasaan secara dramatis terhadap kontrol atas tanah, tambang, maupun, sumber daya alam lain dari para pemegang kebijakan di Jakarta kepada “raja-raja kecil di daerah. Untuk itu, persoalan demokratisasi pengelolaan sumber daya alam menjadi penting untuk diangkat dan carakan kembali secara terbuka di ruang publik. Apalagi menjelang kontestasi pemilu legislatif dan pemilihan presiden tanggal 17 April mendatang. persoalan demokratisasi pengelolaan sumber daya alam juga sempat mengemuka di forum debat capres kedua tanggal 17 Februari lalu.
Keprihatinan salah kelola SDA juga dikemukakan oleh Hal yang sama juga menjadi keprihatinan ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri. Pengamat UI ini menyoroti besarnya kekayaan segilintir orang di Indonesia, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Menurut dia, penguasaan kekayaan dalam jumlah besar itu mengakibatkan ketimpangan semakin melebar di Indonesia. Menurut data The Economist, kata Faisal, Indonesia berada di peringkat ke-7 dalam The Crony-capitalism index pada tahun 2016.
Hal itu disebabkan karena segelintir orang di Indonesia menguasai kekayaan mencapai 3,8 persen dari total GDP pada tahun 2016. Angka itu pun naik dari tahun 2014, yakni 3,76 persen dari total GDP dengan peringkat ke-8.
Keprihatinan yang saya juga diungkapkan oleh Mohammad Hasan Ansori, Direktur Program dan Riset, The Habibie Center. Dalam presentasinya dia menyebut politisasi Sumber Daya Alam (SDA) marak jelang pemilihan umum. Pintu masuknya berawal dari balas budi politik. Hasan menyebut, sebabnya adalah dukungan finansial dari perusahaan pengelola SDA ke politisi tertentu. Dari faktor itu, politisasi SDA dimulai. Dilanjutkan dengan jual beli pengaruh untuk pengelolaan. Sejumlah perusahaan pun akan berlomba-lomba memberikan uang sebanyak-banyaknya. Selain itu, sikap koruptif akan berlanjut ke mekanisme setoran rutin. Misalnya dalam prosedur penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Perusahaan yang menerima izin itu, tak bisa begitu saja lepas. Hal ini, kata dia, dikategorikan sebagai masalah loyalitas terkait pengelolaan SDA. Perilaku koruptif semakin menjadi-jadi karena iklim tersebut diterapkan. Semakin loyal perusahaan, maka semakin awet izin yang dikeluarkan.
Ada banyak masalah dan kendala dalam pengelolaan SDA. Ada yang optimis dalam pengelolaan ke depan. Yang pesimis juga banyak melihat tumpang tindihnya pengelolaan dan banyaknya aktor yang bermain dalam perusakan tata kelola SDA. Bagaimanapun demokratisasi pengelolahan sumber daya alam harus dilihat sebagai cara dan proses masyarakat umum, komunitas, atau publik untuk ikut memiliki kontrol terhadap surmber daya alam Indonesia dan mempergunakan sumber daya alam tersebut untuk memperkuat komunitas dan publik, baik secara ekonomi maupun politik. Intinya adalah kontrol terhadap surmber daya alam. Peranan ini kontrol inilah yang harusnya diperkuat bagi rakyat untuk berdaulat memaksimalkan manfaat SDA bagi rakyat Indonesia. (AS)