- 09/11/2012
- Posted by: Ari Syarifudin
- Category: Berita
RANOOHA – Radio Komunitas Simponi, terletak di Desa Ranooha Lestari, Kecamatan Buke, Kabupaten Konawe Selatan. Kawasan tersebut dapat ditempuh melalui jalur darat sekitar 3 jam dari Pusat Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Karena lokasi ini berada di pelosok, jalan menuju desa tersebut kurang bersahabat.Aspal jalan sudah banyak yang rusak dan dipenuhi lobang, membuat setiap kendaraan menuju desa tersebut harus serba hati-hati, jika tidak mau terjebak dalam lobang di jalanan.
Syukur-syukur kalau melewatinya di musim panas, sehingga sedikit membantu kendaraan yang melewati badan jalan yang kering, meski harus sabar mengipas debu yang berterbangan dan memasuki celah jendela kendaraan. Disarankan untuk memakai masker sepanjang perjalanan jika tidak menaiki mobil yang berpendingin dan tertutup rapat, karena debu yang berterbangan diterpa kendaraan yang melintas dapat mengganggu pernapasan. Debu-debu ini tentunya juga menyusup ke kamar-kamar rumah penduduk yang berada di pinggir jalan dan mengancam penghuninya diserang penyakit ISPA.
Tapi dapat dibayangkan ketika menempuh jalan tersebut di saat musim hujan, bisa jadi beberapa ruas jalan tidak bisa dilewati. Jika masih nekat, tentu harus bersiap untuk terjebak dalam lobang berlumpur atau setidaknya mandi di genangan air kotor karena tanah jalanan yang tadi kering dan berdebu di musim panas akan menjadi lumpur di musim hujan.
Tim Publik Interest Research dan Advocacy Center (PIRAC) Maifil (Peneliti) dan Yayan (Film Maker) mengunjungi Desa Ranooha untuk kebutuhan studi di Radio Komunitas Simponi, karena itu setelah sampai malam hari di Kota Kendari dari Jakarta, Senin (5/11/2012), esok harinya Pukul 8.30 WITA, Tim PIRAC menuju Desa Ranooha Lestari.
Untuk mencapai desa tersebut, Tim memilih menggunakan mobil carteran dan tidak menggunakan angkutan umum, kalau menggunakan angkutan umum dipastikan agak menyita waktu, karena akan menunggu mobil ini penuh dan kerap kali dengan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas yang seharusnya. Hal itu dikarenakan jumlah mobil angkutannya yang sedikit untuk menuju kawasan tersebut.
Sekitar Pukul 11.50 WITA Tim PIRAC pun sampai di Desa Rranooha Lestari yang asri, dihiasi pemandangan rumah-rumah penduduk yang berjejer di sepanjang jalan dengan arsitektur berbeda-beda, ini menandakan keberagaman penduduk di desa tersebut. Mereka berasal dari berbagai etnik di Indonesia seperti etnik Jawa, Bali, Kolaki dan Bugis.
Tim PIRAC yang didampingi Tim Jaringan Radio Komunitas (JRK) Sulawesi Tenggara yang dipimpin Ibrahim yang akrab dipanggi Ibe ini sampai di Simponi disambut oleh Pimpinan Radio Komunitas Simponi Kasmari, 49 tahun, yang dikenal di udara sebagai Mas Bangun.
Mas Bangun terlihat senang dengan kedatangan Tim PIRAC, senyuman yang tulus keluar dari bibirnya yang dihiasi kumis tebal di atasnya. Jabatan tangan yang erat mengalirkan kehangatan atas sambutan tersebut. Setelah menyalami satu per satu, Mas Bangun mengajak Tim ke dalam rumahnya di bagian belakang, untuk rehat.
Di gedung bagian belakang itulah Mas Bangun dan keluarga tinggal, sementara di rumah bagian depan terdiri dari dua gedung; kiri dan kanan. Di gedung bagian kiri bertingkat dua, di bagian atas digunakan untuk Studio Rakom Simponi dan di bagian bawahnya digunakan sebagai Studio Foto, unit usaha Rakom Simponi.
Sedangkan gedung di sebelah kanan juga bertingkat dua yang di atas terdiri dari beberapa kamar yang berfungsi sebagai guest house dan di bawahnya berupa Show Room Motor, Ruang Lab Cetak Foto dan Sablon yang semuanya bagian dari unit usaha Rakom Simponi.
Sebenarnya dari pagi sudah beberapa kali Mas Bangun mengkonfirmasi Tim PIRAC dan JRK Sultra, saking berharapnya segera bertemu. Ia yang sangat bersahabat ini benar-benar senang jika ada tamu yang mampir ke rumahnya dan memberikan apresiasi terhadap Rakom yang dikelolanya bersama teman-temannya.
Rakom Simponi yang dikelola Mas Bangun berada di kawasan berpenduduk 200 kk dengan latar belakang pendudduk dari etnik Jawa, Bali, Bugis, Kolaki, dan Sunda. Rata-rata penduduknya bertani dan memiliki sawah tadah hujan, kebun coklat, kelapa dan jeruk.
Etnik Jawa, Bali dan Sunda datang ke kawasan tersebut menurut cerita Mas Bangun, sekitar tahun 1980-an, mereka ikut program pemerintah melalui transmigrasi. Kini, Ranooha Lestari sudah menjadi kampung mereka karena daerah moyangnya di Jawa dan Bali sudah lama ditinggalkan. Di Ranooha mereka hidup dan melahirkan generasi baru tapi tetap saja mereka tidak bisa meninggalkan budayanya. Mereka tetap melestarikan dan mencitai budaya yang mereka bawa ke desa tersebut dan diwariskan secara turun temurun. Media budaya itu muncul melalui prosesi adat yang masih kuat melekat dengan mereka.
Selain prosesi adat yang mampu melepaskan kerinduan mereka pada kampung halaman, Radio Simponilah media lain yang menjadi andalan utama mereka. Maklum kehidupan mereka yang umumnya bertani, media radiolah yang paling efektif dan gampang di bawa ke mana-mana. Meskipun ada televisi tapi tidak mungkin TV diangkut ke kebun atau memanjat pohon nira. Begitu juga koran, mereka tidak punya kesempatan membaca koran, karena koran tidak memungkinkan dibaca sambil berkerja di kebun apatah lagi penjual koran memang jarang masuk ke desa mereka. Dengan radio mereka bisa distel di mana saja; sambil berjalan ke kebun, sambil memacul, sambil memanjat pohon kelapa, memetik kakao dan rehat makan setelah penat berkerja Siaran Simponi selalu menemani.
Apalagi Radio Simponi yang dikelola Mas Bangun, selalu menyiarkan informasi dan hiburan dengan menu yang memenuhi kepuasan pendengar yang berasal dari berbagai etnik dan agama tersebut. Rakom Simponi membagi waktu untuk siaran berbahasa Jawa dan menghadirkan lagu dari berbagai etnik seperti Bugis, Kolaki, Jawa, Sunda dan Bali tersebut. Sehingga setiap etnik dalam jangkauan Radio Simponi terpuaskan dan terhibur dengan lagu-lagu yang dihadirkan dengan bahasa mereka. Sehingga fans Simponi di Ranooha Lestari dan sekitarnya menjadi sangat mencintai Simponi dan mereka merasa memiliki.
Tidak heran dalam setiap menu siaran, telpon dari selular pendengar selalu berdering di studio untuk merequest lagu dan menitip salam kepada pendengar lain. Silaturrahmi yang terjalin di udara melalui Radio Simponi tidak saja mengakrabkan mereka di udara, akan tetapi juga mengakrabkan mereka sehari-hari meski berasal dari latar belakang etnik dan agama yang berbeda, mereka hidup damai dan menjadi saudara yang dikuatkan oleh siaran Simponi. – Maifil/Sekolah Fundraising PIRAC