- 25/08/2016
- Posted by: Ari Syarifudin
- Category: Berita
Siaran Pers
Potensi Sumbangan Filantropi untuk Riset Rp 1,025 Triliun/tahun
Kondisi riset di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Mohamad Nasir, Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Kerja Jokowi, mengungkapkan bahwa anggaran riset Indonesia hanya 0,09% dari PDB Indonesia.[1] Anggaran ini masih jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia yang menganggarkan 1%, Singapura 2,5%, dan jauh tertinggal dari anggaran Korea Selatan yaitu 3,4%. Negara yang paling banyak menghasilkan riset adalah Jepang. Jepang merupakan negara dengan penghasil paten terbanyak pada tahun 2008 dengan lebih dari 500 ribu aplikasi paten. Anggaran R & D (Research and Development) yang disediakan negeri itu mencapai sekitar US$ 144 miliar. Kemudian disusul oleh Amerika Serikat dengan jumlah paten lebih dari 400 ribu aplikasi, dan anggaran R & D lebih dari US$ 400 miliar USD. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki anggaran R & D US$ 0,72 miliar dan hanya menghasilkan aplikasi paten sebanyak 23 buah. Angka ini jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang menghasilkan 1.312 paten, dengan anggaran R & D US$ 2,3 miliar, ataupun Thailand sebanyak 986 aplikasi paten, dengan anggaran R & D US$ 1,46 miliar.[2]
Di tengah keterbatasan pendanaan pemerintah untuk riset, sebenarnya muncul sumberdaya alternatif dari kegiatan filantropi yang dapat mendukung kegiatan riset. Pada bulan April – Juli 2016, PIRAC melakukan studi diagnostik “Pemetaan lembaga filantropi pendukung riset”. Studi ini mencatat bahwa sumbagan dari 28 lembaga filantropi terhadap riset yang sudah diberlanjakan mencapai Rp 25,488 miliar pertahun, sementara potensi sumbangan filantropi mencapai Rp 1,025 triliun/tahun.
Hasil riset tren filantropi perusahaan yang dilakukan PIRAC tahun 2015 mencatat bahwa sumbangan filantropi perusahaan sepanjang tahun 2014, sebesar 19,42 % dari Rp 12,45 triliun atau sekitar Rp 2,42 triliun digunakan untuk pengembangan pendidikan dan riset. Mayoritas dukungan riset adalah menyasar pada isu yang berkait dengan sosial dan ekonomi (26 %), sains dan teknologi (18 %), berkaitan dengan kepentingan lembaga filantropi (16 %) dan sisanya berkaitan dengan isu spesifik seperti kemanusiaan, budaya, lingkungan, kesehatan dan gizi. Isu yang menjadi obyek riset masih cenderung mengikuti agenda riset dari pemberi dana/ dukungan dan kebutuhan yang sesuai dengan lembaga filantropi atau perusahaan.
Studi ini mengungkapkan bahwa dukungan lembaga filantropi terhadap riset tidak hanya berupa dana, namun juga in kind lainnya seperti laboratorium, tenaga ahli (peneliti), peningkatan kapasitas peneliti dengan pelibatan dalam riset lembaga filantropi dan lain sebagainya. Selain sebagai pemberi dana riset, beberapa lembaga filantropi juga berperan sebagai pelaku riset itu sendiri. Mereka memiliki divisi R & D (Research and Development) yang mengembangkan riset sendiri dengan memberikan kesempatan kepada pihak lain seperti universitas, LSM, dan peneliti profesional lainnya baik individu maupun lembaga untuk melakukan riset bersama-sama. Adapun mekanisme yang mereka gunakan untuk memberikan informasi pemberian pendanaan riset ini di antaranya adalah call for proposal, kompetisi, penunjukan langsung, bidding/tender, dan sponsorship.
Studi ini menemukan fakta bahwa motif lembaga filantropi pendukung riset lebih banyak pada pemenuhan kebutuhan dari lembaga filantropi itu sendiri dibanding dukungan program terhadap ‘riset murni’. Wajar bila kemudian, studi ini juga menemukan bahwa penerima manfaat terbesar dari hasil riset lebih dirasakan oleh lembaga filantropi, pelaku riset, kemudian masyarakat. Lemahnya dampak riset pada masyarakat juga disebabkan karena penelitian yang dilakukan belum mengarah pada penelitian aplikatif dan berdampak kepada masyarakat. Karena itu, harus dibuat pendekatan baru agar lembaga filantropi lebih mendukung riset-riset yang berkontribusi langsung pada masyarakat melalui kebijakan pemerintah.
Untuk menumbuhkan iklim riset nasional yang kondusif, Permerintah harus melakukan deregulasi dan debirokratisasi terhadap aturan-aturan perguruan tinggi yang selama ini cenderung rumit dan memberatkan. Peraturan yang dibuat seharusnya dapat memicu pertumbuhan dan pengembangan riset dengan memberikan dukungan atas perlindungan Hak Kekayaan Intelektual serta kemudahan untuk mendapatkan dan mengukuhkan Hak Paten bagi pengembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, proses kreatif dalam kerja-kerja seni dan budaya, serta berbagai hal yang mendukung kemajuan peradaban bangsa. Hal yang penting lainnya adalah memberikan penghargaan bagi lembaga filantropi pendukung riset sebagai insentif, seperti kemudahan perizinan, pengurangan atau penghapusan pajak, jasa auditor, peningkatan kapasitas pengelolaan program, sinergi program, atau pengakuan kelembagaan, agar lembaga filantropi selalu memiliki antusiasme dalam mendukung pertumbuhan riset di Indonesia.
Lembaga filantropi yang bernaung dalam yayasan perusahaan dapat juga didorong untuk melakukan riset sebelum mengimplementasikan program-program CSR atau program pertanggungjawaban pada masyarakat di sekitar perusahaan sehingga program tersebut dapat tepat guna. Peran masyarakat sipil dalam pengembangan riset harus diperkuat dengan memiliki semacam standar sertifikasi kemajuan yang disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan di Indonesia.
Studi ini menunjukkan bahwa peluang dan upaya memajukan pengembangan riset di Indonesia haruslah dilakukan secara sinergis di antara tiga komponen strategis yaitu pemerintah, lembaga filantropi, dan lembaga penelitian yang terdiri dari a) perguruan tinggi, b) lembaga profit c) LSM/NGO. Dengan sinergitas ini, maka terjadi kolaborasi mutualisme dalam pengelolaan anggaran, prioritas isu dan cakupan riset, pengelolaan sumber daya manusia, efektivitas dan dampak, hingga mencari strategi bersama yang kreatif dan inovatif untuk mencari dukungan sumber-sumber dana riset yang lain.
Informasi lebih lanjut:
Nor Hiqmah: 0815 950 8292
Ninik Annisa: 0815 8016 221
021 – 7756071 & pirac@pirac.org
[1] Lihat “Menristek target tambah Rp 12 Triliun untuk anggaran riset”, http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150805172446-199-70287/menristek-target-tambah-rp-12-triliun-untuk-anggaran-riset/ pada tanggal 12 Februari 2016 pada jam 11.11.
[2] Lihat Hari Susanto ,“Riset dan Daya Saing Bangsa”, http://www1.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11365/print, pada tanggal 12 Februari 2016 pada jam 11.36.