“CSR tidak lagi sekadar kewajiban perusahaan, tetapi menjadi bagian dari komitmen keberlanjutan dan tanggung jawab sosial yang bisa bersinergi dengan inisiatif pemberdayaan masyarakat.” Kalimat pembuka dalam undangan KYUTRI Tematik Mobilisasi Sumber Daya ini menjadi benang merah diskusi yang berlangsung Jumat, 10 Oktober 2025 lalu. Nor Hiqmah dari PIRAC membagikan pengalaman dan strateginya dalam membangun kemitraan dengan program CSR—sesuatu yang sangat relevan bagi kita para praktisi pemberdayaan masyarakat.
Pergeseran Paradigma: CSR Bukan Lagi Sekadar “Nyumbang”
Di awal diskusi, Nor Hiqmah langsung meluruskan miskonsepsi yang masih sering terjadi. “CSR bukan lagi soal charity atau kedermawanan perusahaan,” tegasnya. “Ini tentang tanggung jawab perusahaan terhadap dampak operasionalnya pada masyarakat dan lingkungan.”
Pergeseran ini penting dipahami oleh kita sebagai organisasi pemberdayaan masyarakat. Ketika kita mendekati perusahaan dengan mindset “meminta bantuan”, kita sudah salah positioning sejak awal. Paradigma baru CSR justru berbicara tentang Triple Bottom Line: People, Planet, dan Profit—di mana kepentingan masyarakat, lingkungan, dan bisnis harus seimbang.
Bagi perusahaan modern, CSR strategis bukan beban melainkan investasi yang memberikan return berupa peningkatan reputasi, loyalitas konsumen, motivasi karyawan, dan—yang terpenting—keberlanjutan bisnis jangka panjang.
Mengenali “Warna” Perusahaan: Siapa yang Cocok dengan Kita?
Salah satu insight berharga dari diskusi adalah kategorisasi karakter perusahaan. Nor Hiqmah membaginya dalam tiga kategori yang perlu kita pahami sebelum membangun kemitraan:
- Perusahaan Konvensional biasanya reaktif—baru bergerak bila ada potensi kerugian reputasi. Program CSR mereka cenderung instant: mie instan, air minum, makanan kaleng saat bencana. Penyerahan bantuan dilakukan tanpa penilaian kebutuhan yang mendalam. Buat organisasi seperti kita yang fokus pada pemberdayaan, kemitraan dengan tipe ini cenderung kurang berkelanjutan.
- Perusahaan Progresif sudah lebih baik. Mereka mengintegrasikan risiko sosial dalam manajemen bisnis dan melakukan rapid assessment sebelum beraksi. Bentuk bantuan lebih beragam: tim kesehatan, logistik, program pemulihan trauma, bahkan akses ekonomi. Ada ruang kolaborasi yang lebih besar di sini.
- Perusahaan Terdepan adalah mitra ideal bagi kerja-kerja pemberdayaan kita. Mereka proaktif membangun kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, memiliki program terstruktur untuk antisipasi, fokus pada peningkatan kapasitas, dan komitmen jangka panjang. Inilah yang sebaiknya kita bidik.
“Kenali dulu karakternya,” saran Nor Hiqmah. “Jangan sampai kita mengajukan program pemberdayaan jangka panjang ke perusahaan yang masih berpikir charity jangka pendek.”
Enam Pintu Masuk Kemitraan CSR
Diskusi kemudian membahas berbagai bentuk kemitraan yang bisa kita eksplorasi, disesuaikan dengan program dan kapasitas organisasi kita:
- Cause Promotion cocok untuk isu yang sedang viral atau menjadi perhatian publik. Perusahaan mensponsori kegiatan kita untuk meningkatkan awareness sekaligus citra mereka. Win-win.
- Cause-Related Marketing menghubungkan penjualan produk dengan program kita. Misalnya: setiap pembelian produk X, sekian persen didonasikan untuk program pemberdayaan perempuan yang kita kelola.
- Corporate Social Marketing mengajak perusahaan berkampanye bersama untuk perubahan perilaku—PHBS, kesadaran lingkungan, literasi keuangan. Ini sejalan banget dengan kerja-kerja capacity building kita.
- Corporate Philanthropy adalah bentuk paling tradisional: donasi langsung untuk kegiatan kita saat dibutuhkan. Masih relevan, terutama untuk program darurat atau kemanusiaan.
- Community Volunteering melibatkan karyawan perusahaan dalam program kita. Ini menciptakan engagement yang lebih dalam dan bisa jadi pintu masuk komitmen jangka panjang.
- Socially Responsible Business Practice adalah yang paling transformatif—perusahaan mengubah praktik bisnisnya sesuai dengan isu yang kita angkat. Ini highest impact, tapi juga paling menantang.
Refleksi: Dari Diskusi ke Aksi
Diskusi KYUTRI Tematik kali ini membuka mata kita bahwa mengakses CSR perusahaan bukan soal “pintar membuat proposal” atau “punya koneksi”, tapi tentang memahami ekosistem, membangun relasi jangka panjang, dan merancang program yang menciptakan nilai bersama.
Sebagai mitra Lokadaya yang bekerja di garis depan pemberdayaan masyarakat, kita punya keunggulan: kedekatan dengan komunitas, pemahaman konteks lokal, dan pengalaman kerja-kerja grassroot. Yang perlu kita kembangkan adalah kemampuan “menerjemahkan” kekuatan ini ke dalam bahasa yang dipahami perusahaan.
CSR strategis bukan tentang perusahaan “memberi” pada masyarakat, tetapi tentang co-creation—menciptakan nilai bersama bagi perusahaan, masyarakat, dan organisasi kita. Ketika tiga pihak ini sama-sama mendapat manfaat, di situlah keberlanjutan sejati tercipta.
“Praktekkan dan nikmati tantangan dan hasilnya,” tutup Nor Hiqmah dengan senyuman. Sebuah ajakan sederhana yang mengingatkan kita bahwa membangun kemitraan CSR adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan—yang terpenting—komitmen pada perubahan yang bermakna bagi masyarakat.