- 10/07/2024
- Posted by: Admin
- Category: Berita
Laporan Doing Good Index 2024:
Digitalisasi Sektor Sosial Pesat, Tapi Rentan Serangan Siber
Ditengah pesatnya digitalisasi sektor sosial di Asia, termasuk di Indonesia, organisasi sosial (orsos) rentan terhadap ancaman siber. Kerentanan ini menjadi salah satu indikator ketidaksiapan sektor ini menghadapi era digital. Mereka kesulitan untuk mengikuti perubahan teknologi informasi karena minimnya akses terhadap infrastruktur digital, rendahnya kapasitas pengelola, serta kurangnya dukungan donor dan kebijakan pemerintah. Kondisi ini menghambat kemampuan sektor sosial dalam memberikan produk dan layanan kepada masyarakat dengan memanfaatkan teknologi digital.
Temuan-temuan kunci ini mengemuka dalam acara peluncuran sekaligus diskusi publik Laporan Doing Good Index (DGI) 2024 yang digelar PIRAC bekerjasama dengan Yayasan Penabulu, Co-Evolve II, Dompet Dhuafa dan Human Initiative di Jakarta, Kamis siang (4/7). Doing Good Index atau Indeks Berbuat Baik merupakan kajian 2 tahunan yang menggambarkan peta kebijakan, praktik institusi, dan lanskap sektor sosial di 17 negara Asia, termasuk di Indonesia. DGI mengkaji 4 (empat) sub indeks yang dinilai bisa memperkuat atau melemahkan inisiatif sosial, yaitu: peraturan perundang-undangan, kebijakan pajak dan fiskal, kebijakan procurement (pengadaan barang dan jasa), serta ekosistem sektor sosial. Selain komponen di atas, DGI 2024 juga secara khusus mengkaji digitalisasi sektor sosial. Kajian 2 tahunan yang dikoordinir oleh Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS) melibatkan 2.183 organisasi sebagai responden dan 140 panel ahli. Pelaksanaan riset DGI 2024 di Indonesia dilakukan berkolaborasi dengan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dan melibatkan 202 organisasi dan 11 pakar.
Annelotte Walsh, Ph.D., Direktur Penelitian CAPS, menjelaskan 95% organisasi sosial di Asia sudah memanfaatkan teknologi digital untuk memberikan layanan kepada penerima manfaatnya. Tiga cara utama yang banyak digunakan untuk memberikan layanan adalah telepon (69%), pesan instan (63%), dan video panggilan (57%). Laporan itu juga menyebut Filipina, Indonesia dan Malaysia sebagai 3 negara yang organisasi sosialnya tertinggi dalam memanfaatkan teknologi digital untuk menggelar acara atau rapat virtual. Selain itu, Orsos di asia memanfaat teknologi digital untuk penyusunan laporan keuangan (80%), penyimpanan data keuangan (90%), dan penyimpanan jenis data lainnya, seperti data donor, proyek, penerima manfaat (75%). Penggunaan alat digital untuk tugas administratif, penjangkauan komunitas, dan penggalangan dana juga semakin populer.
Namun, Annelotte menambahkan, Orsos di Asia kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk mendayagunakan sepenuhnya manfaat teknologi digital. Laporan DGI 2024 mengungkap minimnya dukungan pendanaan dan investasi terhadap orsos dalam mengembangkan teknologi digital untuk operasional organisasi maupun pelaksanaan program dan layanannya. Padahal, dukungan pendanaan tersebut sangat penting bagi organisasi untuk merespons lanskap digital yang berubah dengan cepat. Sayangnya, Hampir setengah dari organisasi di asia melaporkan bahwa donor mereka tidak mendanai biaya teknologi digital.
“Minimnya dukungan ini membuat sektor sosial di Asia tidak siap menghadapi perubahan teknologi di tengah pesatnya digitalisasi di kawasan ini. Kami percaya sektor swasta maupun filantropi dapat memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan teknologi digital bagi sektor sosial. Donor harus menyadari bahwa tantangan dalam mendapatkan pendanaan tersebut menghalangi organisasi yang mereka dukung untuk berinvestasi dalam teknologi digital yang dapat meningkatkan produktivitas dan dampaknya. Dukungan pendanaan operasional serta donasi dalam bentuk keahlian dan perangkat digital dapat membantu organisasi-organisasi sosial berinvestasi dalam pengembangan kapasitas untuk sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital guna memenuhi misi mereka dalam membantu masyarakat,” katanya.
Hamid Abidin, Peneliti PIRAC, menyatakan bahwa sektor sosial di Indonesia juga mengalami digitalisasi secara pesat, seperti halnya di Asia. Laporan DGI 2024 mengungkapkan bahwa pengelola orsos di Indonesia memiliki akses internet yang andal dan cepat di tempat kerja mereka (75%) dan menggunakan perangkat komputer/tablet (69%). Orsos di Indonesia juga sudah mempromosikan profil dan karyanya di website (74%), media sosial (94%), serta bulletin digital (53%). Mereka juga meningkatkan penggunaan teknologi digital untuk memberikan layanan secara online (55%), mengintegrasikannya dengan operasional organisasi (57%), mengembangkan kolaborasi (69%) dan memanfaatkan media sosial untuk promosi dan diseminasi informasi (75%). Sebagian besar organisasi (98%) melakukannya dengan menggunakan basic software dan hanya 43% yang menggunakan advance software.
Seperti kasus serangan siber ke Pusat Data Nasional, serangan siber juga menyasar sektor sosial di Indonesia. Laporan DGI 2024 mengungkapkan bahwa sebagian besar (66%) organisasi yang disurvei mengalami serangan keamanan siber dalam 2 tahun terakhir. Kondisi mereka lebih rentan karena masih sedikit organisasi (31%) yang memiliki rencana keamanan siber (Cybersecurity plans). Selain itu, masih sedikit organisasi melakukan langkah-langkah mitigasi untuk mengantisipasi dan menghadapi serangan siber tersebut dalam bentuk penggunaan Anti-virus/spyware/malware software (47%), pelatihan staf (32%), atau menyewa konsultan/vendor (12%). “Meski sudah sering menjadi korban serangan siber, nampaknya kesadaran pengurus atau staf orsos terhadap keamanan siber masih rendah. Terbukti belum banyak orsos yang mengalokasikan sumber daya untuk mengantisipasi hal tersebut. Minimnya sumber dana dan keahlian membuat mereka pasif dan pasrah menerima resikonya“. kata Hamid.
Mengacu pada Laporan DGI 2024, Hamid mencatat ada 3 tantangan utama yang dihadapi orsos dalam pemanfaatan teknologi digital, termasuk dalam menghadapi serangan siber, yakni dana yang terbatas (71%), rendahnya keahlian staf (57%), serta minimnya dukungan dari donatur (51%). “Karena itu, kita perlu menyadarkan dan mendorong sektor swast, filantropi maupun pemerintah untuk membantu mengatasi tantangan dihadapi Orsos dalam melakukan digitalisasi terhadap operasional dan layanannya. Ddukungan bisa diberikan dalam bentuk donasi perangkat keras dan software, peningkatan kapasitas staf Orsos, konektivitas internet yang lebih baik, serta menyiapkan organisasi mereka menghadapi serangan siber. Selain memperkuat profesionalisme dan efektivitas kerja orsos, dukungan ini juga membuat masyarakat sebagai penerima manfaat bisa terlayani dengan baik” katanya.
Sementara Riza Imaduddin Abdali, Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan, menyoroti beberapa kebijakan terkait filantropi dan inisiatif sosial yang sudah usang dan tidak bisa merespon perkembangan digitalisasi sektor sosial dan filantropi. Ia mencontohkan kegiatan penggalangan donasi yang sebagian besar dilakukan secara digital menjadi terhambat dan tidak bisa dikembangkan secara optimal karena diatur oleh regulasi yang sudah usang, yakni Undang-undang Nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Menurutnya, pemerintah tidak punya kesadaran dan sense of urgency untuk merevisi regulasi ini, padahal filantropi tengah berkembang pesat di Indonesia. Kegiatan penggalangan dan penyaluran donasi juga kerap dilakukan penanggulangan bencana yang terjadi hampir sepanjang tahun. Riza mendesak agar regulasi ini segera direvisi agar bisa mendorong kemajuan sektor filantropi, khususnya dalam penggalangan donasi. “Kita tidak bisa bicara tentang pengembangan filantropi digital atau ancaman siber terhadap sektor sosial dan filantropi, sementara kerangka hukumnya sudah usang dan sulit untuk diterapkan,” katanya.
Laporan lengkap Doing Good Index 2024 bisa diakses di: doinggoodindex.caps.org/assets/Doing_Good_Index_2024-DHvLUZqA.pdf