- 21/11/2019
- Posted by: Ari Syarifudin
- Category: Berita
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pernyataan di atas muncul dalam UUD 1945 pasal 28D ayat 1. Sementara pada pasal 34 ayat 2 termaktub tanggung jawab negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Kedua pasal inilah yang menjadi dasar lahirnya UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Pasal 1 ayat 1 UU No.16/2011 mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan bantuan hukum, yakni jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Sementara yang dimaksud dengan penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak dasar yang dimaksudkan di sini meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Sedangkan yang dimaksud sebagai pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UU No.16/2011.
Memastikan akses keadilan menjadi poin penting dalam pemberian bantuan hukum ini. Pasal 3 UU No.16/2011 menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan bantuan hukum diantaranya adalah menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan; serta mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum.
Di Indonesia, sudah banyak LSM maupun organisasi masyarakat bergerak dalam upaya memperjuangkan akses keadilan bagi kelompok miskin. Mereka tidak hanya berhenti dalam upaya-upaya advokasi pembukaan akses kesehatan, pendidikan, maupun pemberdayaan atau kemandirian ekonomi, tapi juga dalam advokasi keadilan atau kesamaan di depan hukum.
Bukan rahasia lagi bahwa hak-hak masyarakat miskin sering terpinggirkan hanya karena mereka tidak paham dan tidak punya cukup uang untuk berperkara di pengadilan. Sementara keberadaan organisasi bantuan hukum yang merupakan amanah UU No.16/ 2011 belum bisa berfungsi maksimal karena jangkauan wilayah, kapasitas sumber daya manusia, dan alokasi dana yang terbatas. Padahal dari tahun ke tahun jumlah organisasi bantuan hukum (OBH) yang mengikuti proses verifikasi dan akreditasi terus bertambah.
Pada poin inilah sebenarnya lembaga filantropi punya peluang untuk terlibat agar program ini berfungsi baik, dengan mengoptimalkan peran OBH. Dalam pasal 16 ayat 2 UU No.16/2011 diatur tentang sumber pendanaan lain di luar APBN. Sumber pendanaan lain tersebut bisa berasal dari: 1) hibah atau sumbangan dan atau 2) sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
Meskipun program bantuan hukum untuk masyarakat miskin merupakan upaya yang sangat penting dalam mendorong akses keadilan bagi masyarakat dan juga pemberdayaan kaum miskin, sayangnya di banyak negara, termasuk Indonesia, program ini belum menjadi prioritas lembaga filantropi.
Mayoritas lembaga filantropi memang sudah bergerak di sektor pemberdayaan masyarakat miskin, mulai dari pemberdayaan ekonomi, perbaikan kondisi kesehatan, membuka akses pendidikan, hingga meningkatkan status sosial kelompok masyarakat. Namun belum secara spesifik meletakkan kepedulian pada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang bantuan hukum untuk masyarakat miskin atau masyarakat rentan.
Survei yang dilakukan PIRAC di tahun 2019 terhadap lembaga filantropi di Indonesia, baik yang berasal yayasan perusahaan, yayasan keluarga, yayasan keagamaan, maupun yayasan independen, menunjukkan sebanyak 49 persen menyatakan tidak mendukung program bantuan hukum untuk masyarakat miskin.“Keengganan” sejumlah lembaga filantropi untuk terlibat dalam program bantuan hukum karena berasumsi bahwa hal tersebut tidak sejalan dengan mandat yang sudah ditentukan. Lembaga filantropi perusahaan menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan yang dijamin oleh UU tidak mengharuskan mereka untuk mendukung bantuan hukum bagi rakyat miskin. Namun jika ada keharusan yang ditetapkan oleh UU, mereka menyatakan akan terlibat dalam program tersebut.
Hal lain yang mendasari keengganan tersebut adalah karena mereka sudah memiliki program sendiri yang menjadi fokus lembaga. Mereka juga belum teryakinkan manfaat program bantuan hukum tersebut untuk lembaga mereka. Program bantuan hukum bagi kelompok miskin ini adalah program jangka panjang dan sulit dilihat dampaknya dalam jangka pendek.Program bantuan hukum juga dianggap isu sensitive. Sementara program CSR perusahaan identik dengan meningkatkan citra perusahaan dan hitungannya harus membawa keuntungan ekonomi bagi perusahaan.Mereka khawatir bahwa keterlibatan dalam program bantuan hukum malah bisa menjadi back fire.
Menarik bahwa usulan lembaga filantropi perusahaan agar mereka bisa terlibat dalam program bantuan hukum untuk rakyat miskin diantaranya adalah:
- Pemerintah menetapkan aturan yang mewajibkan lembaga filantropi perusahaan terlibat dalam mendukung program bantuan hukum.
- Organasasi bantuan hukum harus bisa menyesuaikan dengan agenda program lembaga filantropi.
- Program bantuan hukum yang diajukan harus mampu menjawab dampak aktivitas perusahaan dan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi perusahaan.
Sementara lembaga filantropi Islam mengusulkan:
- Mendekati lembaga syariah untuk mengeluarkan fatwa zakat bagi advokasi.
- Membuat fiqih atau menyosialisasikan fiqih bantuan hukum untuk lembaga LAZ agar menjadi prioritas.
Jaminan perlindungan hukum untuk masyarakat miskin
mendapatkan akses bantuan hukum sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam UU No.16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Namun kondisinya ternyata pemerintah belum
dapat memenuhi akses bantuan hukum rakyat miskin ini secara optimal dan
membutuhkan kolaborasi dengan pihak lain terutama filantropi. Untuk mewujudkan
iklim kebijakan yang kondusif bagi praktik jaminan hukum untuk rakyat miskin,
Filantropi Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Tifa telah bermaksud mendiskusikan potensi filantropi untuk
bantuan hukum di Indonesia.
Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Rabu tanggal 20 November 2019 di Gedung Co Hive 101, Mega Kuningan. Nara sumber diskusi publik ini yaitu Ari Syarifudin Tim Peneliti PIRAC, H. M. Arifin Purwakanta – Direktur Baznas, Pratiwi Febri Ketua Bidang Pengembangan Organisasi LBH Jakarta dan Prof. Dr. HR. Benny Riyanto, S.H. – Kepala BPHN, Kemenhumkam.
Secara umum diskusi publik ini ingin memberikan masukan untuk pemenuhan akses bantuan hukum rakyat miskin sebagaimana tercantum dalam UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Tujuan yang lebih khusus yaitu :
- Mendiseminasikan hasil studi mengenai temuan pemetaan filantropi untuk bantuan hukum rakyat miskin.
- Memberikan masukan sinergi program bantuan hukum rakyat miskin antara pemerintah dengan lembaga filantropi juga OBH (Organisasi Bantuan Hukum) di Indonesia
- Mendiskusikan rekomendasi dalam mewujudkan iklim kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak akses bantuan hukum terhadap rakyat miskin.
- Memberikan masukan atas hasil studi pemetaan filantropi untuk bantuan hukum rakyat miskin.
Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Filantropi Indonesia dan Yayasan TIFA yang peserta yang berasal dari para stakeholders yang memiliki perhatian dan berkepentingan terhadap Bantuan Hukum Rakyat Miskin di Indonesia, yakni Anggota Filantropi Indonesia, Lembaga Amil Zakat (LAZ/OPZ), Organisasi Bantuah Hukum (OBH, LSM/CSO dan akademisi pemerhati masalah bantuan hukum, Anggota DPR dan DPD, Instansi pemerintah (Kementrian Sosial dan Kemenkumham), dan Media massa