
Maifil Eka Putra, Manager Informasi, Dokumentasi dan Penerbitan PIRAC
Ada sebuah berita buruk, berita itu berkembang dan mengalir sendirinya. Bahkan dengan cepat menduplikasi diri serta membias di tengah masyarakat. Media massa (online, offline) terkadang menangkap berita itu sebagai berita yang layak jual, dengan segala cara penggalian dan pengembangannya. Jadilah ia “Bad News is Good News”.
Misal, konversi minyak tanah ke gas. Ini sebenarnya berita baik, tapi yang terkenal dari program ini justru berita buruknya. Karena berita buruk menjalar dengan sendirinya. Akhirnya, ketika mendengar konversi minyak tanah ke gas yang lebih akrab bagi masyarakat adalah; ledakkannya, korban nyawa, korban harta dan malah menyudutkan pemerintah yang mempunyai niat baik dalam program ini.
Berita baik yang ada dalam program ini tidak mengalir sendirinya. Sebuah kehematan, praktis dan ekonomisnya pemakaian gas, tidak dengan serta merta terbentuk dalam image konsumen. Untuk meyakinkan berita baik dari manfaat konversi ini, dibutuhkan usaha keras dan harus menyiapkan tools komunikasi yang pas. Masyarakat memerlukan edukasi agar memahami kebaikan dari program konversi itu.
Tools komunikasi yang pas, dirancang menjadi bagian dari tindakan Public Relation (PR). Resepnya dimulai dengan menentukan titik awal komunikasi, menyusun strategi komunikasi dan menentukan faktor pengubah dari dari komunikasi itu.
Sama halnya dengan Program konversi minyak tanah ke gas, strategi fundraising juga membutuhkan pemahaman dan tindakan PR yang pas. Hal ini agar terbentuk image positif terhadap program yang dicarikan dana.
Kegiatan fundraising bukanlah berita buruk, begitu juga program yang dicarikan dananya, juga bukan program yang buruk. Bahkan fundraising dilakukan untuk tujuan mulia, untuk kemanusiaan, untuk memberdayakan dan tujuan baik lainnya. Karena ia bukan berita buruk, maka kabar fundraising itu tidak akan mengalir sendirinya di tengah masyarakat. Program fundraising dan fundraising program memerlukan langkah-langkah PR dengan strategi komunikasi yang pas pula.
Kebutuhan pengetahuan ke-PR-an untuk fundraising semakin diperlukan agar program dan fundraisingnya berjalan sukses. Ditambah pula dengan menjamurnya lembaga kemanusiaan yang membuat persaingan untuk meraih simpati publik semakin ketat. Semuanya bersaing dalam program dan semuanya membutuhkan bantuan donor.
Pada akhirnya –tentu — donor akan cenderung pada program yang disusun rapi dan dikemas dengan PR yang bagus, karena dengan PR yang baik program itu akan tersosialisasi dengan baik dan akan terasa manfaatnya bagi masyarakat. Selain itu, kegiatan PR dalam fundraising juga sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas semua sumbangsih untuk program tersebut. Kabar baiknya, Sekolah Fundraising Pirac, tengah menyiapkan training “PR for Smart Fundraising”, training ini akan menjawab kebutuhan Anda dalam ber-fundraising.
Mensejahterakan Umat dengan Zakat
Peningkatan kesadaran berzakat ini juga diiringi dengan meningkatnya jumlah rata-rata zakat dibayarkan. Survei mengungkapkan bahwa jumlah rata-rata zakat yang dibayarkan oleh muzakki meningkat dari Rp. 416.000/orang/tahun (2004) menjadi Rp. 684.500/orang/tahun (2007). Berdasarkan data-data ini, PIRAC memperkirakan potensi zakat pada tahun 2007 mencapai Rp. 9,09 triliun. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan potensi zakat tahun 2004 yang jumlahnya mencapai Rp. 4,45 triliun.
Sayangnya potensi zakat yang cukup besar tersebut belum terorganisir dengan baik. Sebagian besar responden (95%) ternyata memilih menyalurkan zakatnya kepada masjid sekitar rumah. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LAZ dan BAZ masih sangat kecil. Responden yang menyalurkan zakatnya ke BAZ dan LAZ hanya 6 dan 1,2%.
Mengapa hal ini terjadi? Bagaimana meningkatkan perolehan dana zakat? Apa yang harus dilakukan para pengumpul ZIS agar lebih dipercaya umat? Buku ini berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Public Relation for Smart Fundraising
Maifil Eka Putra, Manager Informasi, Dokumentasi dan Penerbitan PIRAC
Ada sebuah berita buruk, berita itu berkembang dan mengalir sendirinya. Bahkan dengan cepat menduplikasi diri serta membias di tengah masyarakat. Media massa (online, offline) terkadang menangkap berita itu sebagai berita yang layak jual, dengan segala cara penggalian dan pengembangannya. Jadilah ia “Bad News is Good News”.
Misal, konversi minyak tanah ke gas. Ini sebenarnya berita baik, tapi yang terkenal dari program ini justru berita buruknya. Karena berita buruk menjalar dengan sendirinya. Akhirnya, ketika mendengar konversi minyak tanah ke gas yang lebih akrab bagi masyarakat adalah; ledakkannya, korban nyawa, korban harta dan malah menyudutkan pemerintah yang mempunyai niat baik dalam program ini.
Berita baik yang ada dalam program ini tidak mengalir sendirinya. Sebuah kehematan, praktis dan ekonomisnya pemakaian gas, tidak dengan serta merta terbentuk dalam image konsumen. Untuk meyakinkan berita baik dari manfaat konversi ini, dibutuhkan usaha keras dan harus menyiapkan tools komunikasi yang pas. Masyarakat memerlukan edukasi agar memahami kebaikan dari program konversi itu.
Tools komunikasi yang pas, dirancang menjadi bagian dari tindakan Public Relation (PR). Resepnya dimulai dengan menentukan titik awal komunikasi, menyusun strategi komunikasi dan menentukan faktor pengubah dari dari komunikasi itu.
Sama halnya dengan Program konversi minyak tanah ke gas, strategi fundraising juga membutuhkan pemahaman dan tindakan PR yang pas. Hal ini agar terbentuk image positif terhadap program yang dicarikan dana.
Kegiatan fundraising bukanlah berita buruk, begitu juga program yang dicarikan dananya, juga bukan program yang buruk. Bahkan fundraising dilakukan untuk tujuan mulia, untuk kemanusiaan, untuk memberdayakan dan tujuan baik lainnya. Karena ia bukan berita buruk, maka kabar fundraising itu tidak akan mengalir sendirinya di tengah masyarakat. Program fundraising dan fundraising program memerlukan langkah-langkah PR dengan strategi komunikasi yang pas pula.
Kebutuhan pengetahuan ke-PR-an untuk fundraising semakin diperlukan agar program dan fundraisingnya berjalan sukses. Ditambah pula dengan menjamurnya lembaga kemanusiaan yang membuat persaingan untuk meraih simpati publik semakin ketat. Semuanya bersaing dalam program dan semuanya membutuhkan bantuan donor.
Pada akhirnya –tentu — donor akan cenderung pada program yang disusun rapi dan dikemas dengan PR yang bagus, karena dengan PR yang baik program itu akan tersosialisasi dengan baik dan akan terasa manfaatnya bagi masyarakat. Selain itu, kegiatan PR dalam fundraising juga sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas semua sumbangsih untuk program tersebut. Kabar baiknya, Sekolah Fundraising Pirac, tengah menyiapkan training “PR for Smart Fundraising”, training ini akan menjawab kebutuhan Anda dalam ber-fundraising.
The Guideline for Humanitarian Accountability in Indonesia
Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) and Humanitarian Forum Indonesia (HFI) with supported by Ford Foundation initiated the Guideline for Humanitarian Accountability in Indonesia. Now, the Guideline has been translated into English version. Hopefully this version can be noticed as a publication in terms of humanitarian works development effort in Indonesia to the global world. Read More
Kedermawanan Kaum Muslimin
Buku ini merupakan hasil survei di sepuluh kota tentang potensi dan realita zakat masyarakat di Indonesia yang dilakukan oleh PIRAC pada tahun 2004.
Sebagai Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di Indonesia potensi zakat belum digalang dan diberdayakan dengan baik. Padalah telah ada UU yang mengelola tentang zakat. Potensi zakat masyarakat pun tercermin dari hasil survei yang dilakukan oleh PIRAC di sepuluh kota di Indonesia terhadap 1936 responden muslim.
Survei ini merupakan update data sekaligus pembanding bagi survey serupa yang pernah dilakukan pada tahun 2000. Hasil penelitian PIRAC menunjukkan bahwa masyarakat yang merasa dirinya sebagai muzakki adalah sebesar 49,8% (hanya zakat mal). Namun begitu ada 7,5% muzakki yang merasa sebagai wajib zakat tidak membayarkan zakatnya.
Survei PIRAC menunjukkan bahwa rata-rata zakat per tahunnya cukup tinggi, yaitu sebesar Rp 416.400/muzakki, dengan nilai berkisar antara Rp. 30.000 – Rp. 797.160. Dengan potensi yang demikian besar maka potensi dana zakat yang bisa digalang dari masayarakat mencapai 6,132 trilyun/tahun.
Dari survey diketahui bahwa ada pengaruh positif kemampuan berzakat berdasarkan kelas sosial. Artinya, zakat yang diberikan oleh kelas A jauh lebih besar dibandingkan dengan kelas B dan C. Namun yang cukup menarik jika dilihat mberdasarkan kota, kelas sosial C di kota Padang memiliki rata-rata yang cukup tinggi dibandingkan kelas sosial A di kota Medan, Pontianak, Manado, Bandung dan Makassar. Bahkan rata-ratanya cukup jauh di atas rata-rata secara jeseluruhan.
Sayangnya ppotensi zaqkat yang cukup besar tersebut tidak teroganisir dengan baik. Hanya 12,5% dana zakat masyarakat yang sudah dikelola dengan baik oleh lembaga resmi seperti: LAZ/BAZ dan Yayasan Amal. Hal ini tidak terlepas dari masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LAZIS maupun BAZ. Bahkan di tiga kota yang dijadikan sample survey, yaitu di Semarang, Manado dan Balikpapan, LAZIS sama sekali belum mendapat kepercayaan dari masyarakatnya.
Tentunya ini menjadi pekerjaan tumah tangga bagi para amil zakat untuk mendorong masyarakat agar mau membayarkan zakatnya melalui lembaga profesional sehingga pendayagunannya dapat dilakukan secara lebih optimal.