Beberapa waktu lalu masyarakat digemparkan oleh berita dugaan penyelewengan di salah satu lembaga kemanusiaan terbesar di Indonesia. Kasus ACT harus menjadi otokritik bagi gerakan kemanusiaan dan pegiat Filantropi mengenai pentingnya memperkuat tata kelola serta akuntabilitas organisasi agar kepercayaan publik juga terus terjaga. Kasus tersebut juga menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa dalam mengatur sumbangan publik perlu undang-undang yang relevan pada perubahan zaman dan upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Kenyataan tersebut tak lepas dari lemahnya regulasi Indonesia dalam mengatur sumbangan. Saat ini undang-undang yang berlaku adalah UU No. 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang (UU PUB), UU ini usianya sangat tua dan berlaku sejak zaman presiden Soekarno dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sektor Filantropi sehingga sulit untuk diterapkan. Permensos No. 8 Tahun 2021 tentang PUB (Pengumpulan Uang dan Barang) yang menjadi peraturan turunan dari undang-undang tersebut juga tidak bisa menjawab kebutuhan dan persoalan yang dihadapi masyarakat maun lembaga Filantropi dalam menggalang dan mengelola sumbangan.

Kasus ACT tidak hanya berdampak pada besar terhadap lembaga Filantropi. Selain menghadapi tudingan dan kecurigaan public, lembaga Filantropi juga dihadapkan dengan penerapan kebijakan yang makin restriktif. Pemerintah, khususnya Kementerian Sosial lebih ketat dan selektif dalam penerapan mekanisme ijin sumbangan mengacu pada regulasi (khususnya Permensos PUB) yang sebenarnya tidak ideal untuk dijadikan rujukan karena ketentuan atau pasal-pasalnya banyak yang tidak sejalan dengan perkembangan sektor Filantropi. Kemensos maupun Dinas sosial di daerah juga memberlakukan ketentuan baru atau kelengkapan dokumen tambahan yang tidak masuk akal dan sulit dipenuhi oleh organisasi Filantropi yang mengurus izin PUB. Akibatnya, muncul ketegangan dan beragam komplain terkait pengurusan ijin PUB yang lebih rumit dan lebih restriktif. Kerumitan ini juga dipicu belum adanya juknis pengurusan PUB sehingga masing-masing pejabat ataupun pegawai yang terlibat pengurusan PUB melakukan penafsiran dan penerapan sesuai keinginan dan kepentingan mereka.

Menyadari berbagai masalah tersebut, Aliansi Filantropi Untuk Akuntabilitas Sumbangan menilai penting untuk mengidentifikasi, mengurai dan memetakan beragam dinamika dan tantangan yang dihadapi lembaga Filantropi dalam pengurusan PUB. Hasil identifikasi ini akan menjadi bahan dalam memperkuat advokasi untuk pengajuan RUU Penyelenggaraan Sumbangan sebagai revisi UU PUB. Untuk mengumpulkan semua temuan tersebut, Aliansi Filantropi Untuk Akuntabilitas Sumbangan mengadakan pertemuan diskusi terfokus (FGD) yang diselenggarakan pada Selasa, 6 Desember 2022 yang dilaksanakan di KeKini CoWorking Space, Cikini, Jakarta Pusat. Pertemuan dihadiri oleh 20 lembaga perwakilan Aliansi. PIRAC diwakili oleh Ari Syarifudin sebagai koordinator jaringan dalam Aliansi ini.

FGD menjadi media sharing pengalaman secara lebih dekat guna mencari pengetahuan yang lebih dalam sebagai bahan memperkuat substansi maupun kampanye RUU Penyelenggaraan Sumbangan yang akan dilakukan Aliansi. Selain itu, dalam jangka pendek, pemetaan persoalan ini juga bisa jadi rujukan dalam merumuskan perbaikan penerapan permensos PUB sekaligus bahan dalam penyusunan juknisnya.