Press Release

Laporan Doing Good Index 2022 : Regulasi di Indonesia Sulit Dipahami dan Diterapkan

Seperti dua tahun sebelumnya, Laporan Doing Good Index (DGI) 2022 menempatkan Indonesia di jajaran negara dengan peringkat “doing okay” dalam mendukung kegiatan filantropi atau inisiatif sosial yang dilakukan warganya melalui organisasi sosial[1]. Hal ini mengindikasikan minimnya perubahan dan terobosan regulasi dalam 2 tahun terakhir untuk mendukung sektor filantropi dan nirlaba. Laporan DGI 2022 juga menggambarkan bahwa regulasi sektor filantropi dan nirlaba di Indonesia sulit untuk dipahami dan tidak konsisten dalam penegakannya sehingga menyulitkan para pegiat organisasi sosial untuk mematuhi dan melaksanakannya.

Temuan-temuan kunci ini mengemuka dalam acara konferensi pers pemaparan hasil kajian Doing Good Index (DGI) 2022 yang digelar di Jakarta, Jumat siang (25/11).  DGI merupakan kajian untuk memberikan gambaran mengenai peta kebijakan, praktik institusi, dan lanskap sektor sosial di negara yang dikaji. DGI mengkaji 4 (empat) indikator yang bisa memperkuat atau melemahkan inisiatif sosial, yaitu: peraturan perundang-undangan, kebijakan pajak dan fiskal, kebijakan procurement (pengadaan barang dan jasa), serta ekosistem. Posisi negara yang dikaji berdasarkan 4 indikator tersebut kemudian di kelompokkan dalam  empat klaster, di mulai dari yang terburuk sampai yang terbaik, yakni: “Not Doing Enough”, “Doing Okay”, “Doing Better”, dan “Doing Well”. Kajian 2 tahunan yang dilaksanakan olehCentre for Asian Philanthropy and Society (CAPS) ini digelar di 17 negara Asia, termasuk Indonesia, dan melibatkan 2.239 organisasi sebagai responden dan 126 panel ahli. Pelaksanaan riset DGI 2022 di Indonesia dilakukan berkolaborasi dengan CCPHI atau Yayasan Mitra Masyarakat Sehat Indonesia.

Laporan DGI 2022 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan terhadap posisi negara yang ada di 4 klaster. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam 2 tahun terakhir tidak banyak terjadi perubahan dan terobosan kebijakan untuk mendukung sektor filantropi dan nirlaba di 17 negara yang dikaji. Laporan tersebut juga menggambarkan bahwa sebagian besar negara di Asia tidak memiliki perangkat kebijakan yang jelas dan konsisten untuk memungkinkan sektor sosial berkembang. Kajian juga menunjukkan bahwa kebijakan pajak dan fiskal adalah insentif yang baik untuk sektor filantropi, tetapi efek positif dari insentif ini sering terhambat, serta tidak bisa diakses dan dimanfaatkan secara optimal.

Seperti di laporan DGI 2020, Indonesia berada di klaster “doing okay” bersama dengan beberapa negara lainnya, yaitu Cambodia, India, Nepal, Pakistan, Thailand, dan Vietnam. Posisi Indonesia dalam DGI masih di bawah beberapa negara lainnya seperti Malaysia, Filipina, Jepang, Singapore, dan beberapa negara lainnya. Predikat “doing okay” ini  mengindikasikan bahwa inisiatif warga untuk berbuat baik di Indonesia, khususnya yang dilakukan melalui organisasi filantropi/nirlaba, belum sepenuhnya didukung oleh regulasi dan kebijakan terkait sektor tersebut. Regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum menjadi “enabling environment” dalam pengembangan berbagai inisiatif warganya untuk berbuat baik

Ananta Gondomono, direktur eksekutif CCPHI, menyatakan bahwa hasil kajian DGI 2022 menunjukkan bahwa pemerintah menjadi pendukung penting dalam pengembangan sektor filantropi dan nirlaba melalui kebijakan dan dukungan pendanaan yang diberikan. Namun, regulasi yang tidak koheren dan fluktuatif dapat menghambat potensi pemberian kebijakan insentif yang dapat mendorong perkembangan sektor Filantropi/nirlaba secara sistematis. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, mekanisme pendaftaran organisasi nirlaba/sosial di Indonesia relatif efisien karena hanya membutuhkan 3 izin dengan waktu sekitar 1 bulan, dibandingkan dengan rata-rata Asia yang mencapai 4 bulan. Namun, 42% organisasi sosial yang disurvei menganggap undang-undang yang berkaitan dengan sektor sosial di Indonesia sulit dipahami, dibandingkan dengan rata-rata Asia sebesar 57%. “Penegakan aturan dan kebijakan tersebut juga dinilai tidak konsekuen. Hanya 42% dari organisasi sosial yang disurvei di Indonesia percaya bahwa peraturan yang terkait dengan sektor sosial ditegakkan secara konsisten,” kata Ananta.

Ananta menambahkan, kebijakan pajak dan fiskal merupakan insentif yang baik untuk sektor filantropi, tetapi tidak bisa  diterapkan dengan optimal. Semua negara menawarkan insentif pajak untuk donasi yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun individu. Tarif pengurangan pajak sangat bervariasi, dari nol hingga 250%. Meskipun tingkat pengurangan pajak bisa mencapai 100% untuk sumbangan individu dan perusahaan dalam konteks donasi, namun Indonesia membatasi jumlah donasi yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak hanya 5%. “Pengurangan pajak juga dibatasi untuk organisasi di sektor tertentu, sehingga melemahkan efek insentif tersebut,” katanya.

Laporan DGI 2022 juga menunjukkan bahwa  Pendanaan untuk sektor sosial di sebagian besar negara yang dikaji cenderung berkurang dan organisasi Filantropi dan nirlaba mulai beradaptasi dengan hal tersebut Di Indonesia, pendanaan asing dan pendanaan pemerintah secara proporsional menurun antara tahun 2020 dan 2022. Sementara, pendanaan dari sumber dalam negeri—perorangan, yayasan, dan perusahaan—meningkat 10%. Namun demikian, masih terdapat ruang untuk peningkatan donasi dalam negeri dan 75% dari organisaasi Filantropi/nirlaba yang disurvei di Indonesia percaya bahwa tingkat pendanaan dalam negeri masih rendah. Organisasi-organisasi tersebut (38%) saat ini juga sedang melakukan crowdfunding dan 79% organisasi lainnya berniat melakukan hal serupa di masa mendatang.

Laporan SDI 2022 juga menginformasikan bahwa 46% organisasi filantropi/nirlaba di Indonesia  menerima pendanaan korporasi, namun nilai tersebut lebih rendah dari rata-rata Asia sebesar 54%. Sebanyak 62% organisasi bekerja dengan sukarelawan dari perusahaan dan 69% organisasi memiliki anggota dewan yang berpengalaman di perusahaan. Sementara dukungan pendanaan yang diterima organisasi sosial dari pemerintah di Indonesia juga cendrung rendah. Hanya 26% organisasi nirlaba di Indonesia yang menerima hibah pemerintah dan jumlah dana yang diberikan secara proporsional hanya merupakan 1% dari sumber pendanaan organisasi. Sebanyak 18% SDO di Indonesia menerima pendapatan dari kontrak pengadaan pemerintah, di bawah rata-rata Asia sebesar 30%. Tiga perempat SDO juga merasa proses aplikasinya sulit.

Hamid Abidin, Ketua Badan Pengurus PIRAC (Public Interest Research and advocacy Center) menjelaskan bahwa regulasi di Indonesia sulit dipahami dan diterapkan karena sebagian  regulasi yang mengatur organisasi dan kegiatan sosial sudah tergolong usang. Hamid mencontohkan Undang-undang 9/1961 yang menjadi rujukan utama kegiatan filantropi sulit dipahami karena sebagian pasalnya sudah tidak sesuai lagi dengan konteks kegiatan filantropi saat ini. Hal ini juga berdampak pada penerapannya yang sulit dan tidak konsisten.  “Misalnya, mekanisme perijinan yang diterapkan dalam regulasi tersebut tidak bisa diterapkan untuk penggalangan bantuan bagi korban bencana yang membutuhkan kecepatan. Sebagian pasalnya juga tidak relevan dengan kegiatan filantropi dan penggalangan donasi digital yang diterapkan oleh sebagian besar lembaga filantropi/nirlaba di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada implementasi regulasi yang rumit dan inkonsisten dalam penegakannya “Karena itu, regulasi ini sudah mendesak untuk direvisi atau diganti karena terbukti menghambat warga untuk berbuat baik melalui kegiatan berbagi dan membantu masyarakat yang membutuhkan” katanya.

Hamid juga menyoroti kebijakan perpajakan dan fiskal bagi sektor nirlaba di Indonesia yang juga dinilai kurang mendukung kegiatan filantropi dan nirlaba. Menurutnya, kebijakan insentif perpajakan bagi sektor filantropi dan nirlaba di Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lain. Insentif pajak di Indonesia dibatasi hanya untuk bidang-bidang tertentu dan nilai insentif pajaknya juga kecil (5%). Bandingkan dengan kebijakan insentif pajak di negara-negara lain yang cakupannya luas dan nilai insentifnya besar, bahkan sampai memberikan insentif dalam jumlah besar (super deduction) untuk mendorong individu dan perusahaan menyumbang ke isu atau bidang tertentu yang dinilai penting dan strategis. “Insentif pajak kita masuk katagori insentif pajak dengan nilai terendah di Asia dan hampir menghilangkan efek dari insentif dari pemotongan pajak tersebut,” kata Hamid

Dari segi kebijakan terkait procurement atau pengadaan barang dan jasa, DGI 2022 mencatat bahwa kebijakan ini belum efektif karena hanya 18% organisasi nirlaba yang disurvei yang memiliki kontrak procurement dengan pemerintah. Jumlah ini jauh lebih rendah dari prosentase rata-rata di Asia yang mencapai 30%. Kebijakan di Indonesia memang memungkinkan organisasi sosial/nirlaba untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, sesuai Peraturan Presiden Nomor16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa publik. DGI juga mencatat 73% organisasi mengaku kesulitan mengakses informasi tentang peluang pengadaan barang dan jasa, dan jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Proses memenangkan kontrak pemerintah juga dinilai sulit karena tidak transparannya proses penentuan pemenang. “Realitas ini cukup ironis, mengingat tingkat kepercayaan masyarakat kepada organisasi filantropi/nirlaba sebagai salah satu indikator ekosistem dalam laporan DGI 2022 ini sangat tinggi, hingga mencapai 97%. Apalagi Mereka dinilai berperan penting dan krusial melalui kerja-kerja sosial kemanusiaan, khususnya yang dilakukan pada saat pandemi COVID-19 dan pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals) di Indonesia,” kata Hamid.

Baik Ananta maupun Hamid berharap laporan DGI 2022 ini bisa jadi referensi bagi pemerintah untuk memperbaiki dan membuat terobosan regulasi dan kebijakan dalam rangka penguatan sektor filantropi dan nirlaba. Laporan ini bisa memberikan gambaran posisi Indonesia dalam pengaturan sektor nirlaba dibandingkan negara-negara lainnya di Indonesia. Tidak seperti negara-negara lain yang kegiatan filantropinya ditopang oleh tradisi dan ajaran agama serta kebijakan yang mendukung, filantropi Indonesia berkembang semata-mata karena ditopang tradisi dan ajaran agama minus dukungan kebijakan dari pemerintah.  Revisi dan terobosan kebijakan ini dinilai penting agar kegiatan filantropi dan nirlaba yang tengah berkembang pesat bisa diperkuat dan dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan soslal masyarakat. Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong dan memfasilitasi kemitraan organisasi filantropi/nirlaba dengan aktor pembangunan lainnya (perusahaan, perguruan tinggi, media, dll) melalui penyediaan insentif dalam bentuk rekognisi, apresiasi, kemudahaan dan insentif perpajakan



Leave a Reply