Penghargaan Untuk Lima Inovator Muda Di Hari Relawan Internasional

Angkat Inisiatif Baru Mulai dari Minuman Mangrove Sampai Literasi Media

Bertepatan dengan Hari Relawan Internasional, Konsorsium SDG PIPE (Sustainable Development Goals Pemuda Indonesia Penggerak Perubahan) yang terdiri dari Go Global Indonesia dan Yayasan Bina Antarbudaya, Campaign, PIRAC dan FILANTROPI INDONESIA mengumumkan 5 (lima) orang anak muda yang menjadi penerima penghargaan setelah menyisihkan 138 inovasi lainnya.

Kelima anak muda ini adalah Fransiska Myrna Sani dari Jakarta, Yogi Adjie Driantama dari Medan, Abdul Latif Wahid dari Medan, Budi Santoso dari Tangerang Selatan, dan Intan Imelda F. Siagian dari Jakarta. Ide perubahan yang mereka ajukan sangat beragam – mulai dari pemberdayaan masyarakat lokal di Mentawai dengan membuat minuman mangrove sachet, pendirian rumah belajar gratis untuk anak putus sekolah usia 16-25 tahun, pembuatan aplikasi yang mempertemukan pemilah dengan pengepul sampah, pemberdayaan anak perempuan untuk kesetaraan gender, sampai pendirian komunitas literasi media.

“Kami senang sekali melihat antusiasme anak muda dalam berinovasi sosial untuk membuat perubahan positif. Walaupun tema yang kami tentukan hanya ada lima, yaitu perdamaian, pemberdayaan perempuan dan pemuda, pendidikan, lingkungan hidup, dan kesehatan ibu dan anak, namun ide-ide yang masuk sangat luar biasa,” ungkap Fonnyta Amran dari Go Global Indonesia, Konsorsium SDG PIPE.

Sebelum menentukan 5 orang penerima penghargaan dari 138 proposal ide yang masuk, panitia memilih 20 semi-finalis yang diikutsertakan pada acara Filantropi Indonesia Festival (FIFEST) pada tanggal 15-17 November lalu. Di acara ini, ke-20 semi-finalis diminta untuk mempresentasikan idenya serta melalui tahap wawancara dengan beberapa panel juri. Setelah itu, dipilih 10 orang finalis yang harus mempresentasikan kembali idenya pada acara Marketplace Forum di ajang Filantropi Indonesia Festival tersebut.

“Tahapan pemilihannya memang sedikit berbeda dan menantang, karena bagi kami ide yang menang harus bisa ‘tahan tantangan’ – baik dari segi konsep maupun implementasinya. Karena itu, dengan meminta para semi-finalis ini presentasi langsung di hadapan publik, bisa menjadi satu bahan penilaian untuk kami menentukan ide inovasi mana yang akan dapat berkelanjutan nantinya,” ujar Hamid Abidin dari Filantropi Indonesia yang merupakan salah satu donor untuk program SDG PIPE.

Kelima anak muda penerima penghargaan SDG PIPE ini nantinya akan menerima dan menjalankan pelatihan dan workshop, serta akan mengikuti kunjungan lapangan yang menjadi bagian dari program untuk mereka mengembangkan dan meningkatkan dampak dari program inovasi mereka. Selain itu, akan ada juga dukungan dalam bentuk program inkubasi, pelatihan lapangan dan seed grants dengan nilai total Rp. 325 juta. Secara keseluruhan, program SGD PIPE ini akan berjalan hingga bulan Maret 2019.

“Kami berharap dengan adanya changemakers muda ini, mereka dapat menjadi katalis perubahan di lingkungannya masing-masing, dan mendorong lebih banyak orang – terutama anak muda – untuk juga membuat perubahan lain lagi. Kami yakin jika ada lebih banyak orang yang menggerakkan perubahan ini, maka nanti masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat penggerak perubahan atau society of changemakers,” kata Nina Nasution – Direktur Eksekutif dari Yayasan Bina Antarbudaya.

Dunia filantropi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia

Kompleksitas persoalan pendidikan di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian seluruh pemangku kepentingan termasuk kalangan filantropi. Hal ini terungkap dalam diskusi kelompok berfokus atau FGD bertajuk “Filantropi untuk Pendidikan Indonesia” yang digelar di sekretariat Perkumpulan Filantropi Indonesia (PFI) di kawasan Gunungsahari, Jakarta Pusat, Rabu 31 Oktober 2018.

Dalam diskusi yang diikuti oleh 19 lembaga filantropi yang memiliki program di bidang pendidikan ini juga terungkap bahwa fokus garapan tiap-tiap lembaga filantropi sangat bervariasi, mencerminkan persoalan dunia pendidikan yang juga kompleks dan beragam. Ada yang fokus di penyediaan infrastruktur, ada yang fokus pada beasiswa, peningkatan kapasitas guru, dan lain sebagainya.

Dana Kemanusiaan Kompas misalnya, memiliki fokus pada pembangunan infrastruktur dan sarana pendukung pendidikan seperti perpustakaan dan lainnya. Beberapa lemabga lainnya fokus pada pemberian beasiswa seperti Tanoto Foundation, Djarum Foundation, dan lembaga filantropi lain termasuk oleh sejumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) semisal Dompet Dhuafa, Baitul Maal Hidayatullah, Rumah Zakat, dan lain-lain. Selain keragaman fokus bidang yang dikerjakan, daerah sebaran lokasi program pendidikan yang dijalankan juga sangat luas atau hampir berada di setiap provinsi.

Perlunya membangun sinergi

Kompleksitas persoalan ditambah cakupan wilayah yang luas memunculkan gagasan untuk bersinergi antar lembaga filantropi untuk menghasilkan dampak lebih besar. Beberapa upaya yang sudah dilakukan saat ini seperti penelitian untuk mendalami bidang prioritas yang harus ditangani oleh dunia filantropi dalam waktu dekat dengan dampak yang paling signifikan (Transformative Impact).

Penelitian Asia Philanthropy Circle (APC) baru-baru ini merekomendasikan setidaknya ada empat bidang sasaran prioritas di dunia pendidikan yang perlu mendapat perhatian mencakup 1) peningkatan kualitas guru; 2) kepemimpinan dan pengelolaan sekolah yang baik; 3) pendidikan vokasi; 4) pendidikan anak usia dini.

Contoh upaya kemitraan dunia filantropi yang tengah dijalankan yakni dengan platform basis data bersama berisi daftar lembaga filantropi, bentuk program yang dilakukan, serta daerah sasaran program. Basis data ini dapat memudahkan koordinasi antar pegiat filantropi serta untuk menghindari tumpang tindih program program yang dilakukan. Platform database online sedang digagas oleh Tanoto Foundation bekerja sama dengan Djarum Foundation dan Asia Philanthropy Circle (APC).

Apresiasi inovasi anak muda melalui #ChangeMakers Award/SDGs PIPE

PIRAC bersama tiga lembaga lain yakni Go Global Indonesi (GGI), Perkumpulan Filantropi Indonesia (PFI), dan CampaignID dalam Bulan November 2018 ini telah menyelenggarakan sebuah program bertajuk Changemaker Award/SGDs PIPE. Program ini merupakan ajang apresiasi terhadap para pemuda di seluruh Indonesia atas inovasi mereka di berbagai bidang dan turut berkontribusi dalam pencapaian SDGs di Indonesia.

Tahap pendaftaran dilakukan melalui situs CampaignID telah berhasil menjaring 160-an aplikasi inovasi dalam berbagai bidang yaitu peace building, women and youth empowerment, education, environmental, dan maternal and newborn mortality. Melalui tahap seleksi yang meliputi seleksi administrasi dan konten, terpilih sebanyak 20 inovasi untuk mengikuti tahapan penjurian (pitching) di Jakarta. Daftar finalis dapat dilihat di tautan berikut: https://www.campaign.com/SDGPIPE

Proses penjurian dilakukan selama dua hari pada acara Festival Filantropi Indonesia 2018 di Jakarta Convention Center (JCC), 15 dan 16 November 2018. Pada kesempatan itu, seluruh finalis mempresentasikan inovasi program mereka di hadapan dewan juri yang teridir terdiri dari Sinta Kaniawati (Yayasan Unilever Indonesia), Hning Wicaksono (Yayasan Sahabat Multibintang), Edwin Tanga (Indoestri), Dian Hasan (Impact Hub), dan Michelle (William and Lily Foundation).

Proses pitching di JCC merupakan kesempatan bagi para finalis untuk menjelaskan projek inovasi mereka secara lebih detail di hadapan para juri dan sesama finalis. Di situ dijelaskan bentuk inovasi yang dilakukan, dampak inovasi, dan potensi keberlanjutan. Setiap finalis diberi waktu lima menit untuk presentasi dan sepuluh menit  waktu tanya jawab dengan dewan juri. Ke-20 finalis memperebutkan posisi 10 besar yang akan melanjutkan ke tahapan “Knowledge Dimsum” sebagai proses seleksi tahap selanjutnya.

Knowledge Dimsum merupakan kesempatan bagi para finalis untuk mengeksplorasi dan ‘menjual’ gagasan inovasi mereka di hadapan para audiensi yang lebih luas lagi yang terdiri dari para praktisi dan ‘investor’ dari kalangan filantropis. Selain itu, melalui ajang ini dapat terbangun interaksi dua arah antara para inovator yang adalah anak-anak muda dengan para ‘senior’ mereka sehingga dapat terjadi proses saling membangun selain terciptanya proses ‘membeli gagasan’ tadi. Pada prakteknya terjadi sedikit perubahan format acara menyesuaikan jumlah investro yang datang tanpa mengurangi esensi kegiatan.

Keseluruhan proses seleksi menyisakan lima inovator yang akan mendapatkan apresiasi dan memperoleh berbagai benefit yang telah disiapkan oleh penyelenggara berupa pelatihan dan funding seeds (dana pengembangan program). Daftar pemenang dapat dilihat di tautan berikut: https://www.instagram.com/p/BqpMhkJATYU/.

Proses pemberian penghargaan (Awarding Event) dilakukan pada Tanggal 5 Desember 2018 bertepatan dengan hari volunteer internasional (International Volunteer Day).

Festival Gempita : Festival gerakan muda untuk melawan kekerasan dan intoleransi

Indonesia sudah lama terjangkit wabah isu hoax, radikalisme dan sikap intoleransi. Hal tersebut menjadi ancaman besar bagi Indonesia yakni disintegrasi bangsa. Tak pelak, para pemuda yang sadar akan ancaman tersebut melakukan berbagai cara pencegahan, salah satunya yakni Nor Hiqmah. Nor Hiqmah sebagai direktur PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menggagas sebuah gerakan muda untuk melawan kekerasan dan intoleransi. Nor Hiqmah menggagas berdirinya suatu gerakan yakni GEMPITA (Gerakan Muda Pendukung Toleransi dan Anti Kekerasan) dengan beberapa lembaga seperti Wahid Foundation, KPAI, dan beberapa Dinas terkait.

Gempita menggelar acara festival keberagaman dan deklarasi kaum muda untuk melawan intoleransi di Kota Depok. Festival tersebut digelar di pendopo SMAN 4 Depok dan dihadiri ratusan siswa dari berbagai sekolah. Mereka membubuhkan tanda tangan atas dukungan dan aksi melawan sikap intoleransi di Kota Depok.

Festival Gempita dimeriahkan dengan berbagai macam aksi dan seni tradisional hingga modern seperti menampilkan tari-tarian, musik, standup comedi dan aksi orasi ilmiah. Dalam festival ini juga diadakan talkshow dengan tema “Membangun Toleransi di Kalangan Kaum Muda”. Talkshow ini dihadiri narasumber Siti Kholisah dari Wahid Foundation, Retno Listyarti dari KPAI dan Pak Umar dari perwakilan Dinas Kota Depok. “Selama seseorang di didik dengan dengan kekerasan maka kekerasan tidak akan ada putusnya” ujar Retno Listyarti dalam talkshownya. Selain Retno, Pak Umar juga bertutur “3 aspek utama mendidik anak didik adalah mengajarkan mereka untuk kritis, aktif dan kreatif”.

Dalam Festival Gempita, Hiqmah menuturka bahwa GEMPITA telah bergrak dan berkiprah sejak Maret 2018. “Dalam kurun waktu 6 bulan, serangkaian sosialisasi dan kegiatan di sekolah sekolah SMA sederajat telah dilakukan,” tuturnya. Selama 6 bulan terdapat serangkaian sosialisasi dan kegiatan di sekolah-sekolah (SMA dan sederajat) yang telah dilakukan seperti deklarasi Sekolah Gempita, Coaching Siswa untuk Toleransi dan Anti Kekerasan di SMA/SMK se-Kota Depok, Aneka Lomba dan Workshop Guru Gempita serta Festival Gempita.

“Deklarasi kaum muda Depok diharapkan dapat memupuk nilai solidaritas, keterbukaan, menerima keindahan perbedaan agar Depok dapat menjadi kota yang toleran, damai, dan menghargai nilai nilai kemanusiaan.” Pungkas Nor Hiqmah.

Workshop “Creative Thinking as a problem solving tool for NGO”

Berpikir kreatif merupakan tuntutan untuk mendukung keberlanjutan sebuah organisasi. Tanpa adanya kreativitas yang dilakukan secara terus menerus, sulit rasanya sebuah organisasi dapat bertahan di tengah persaingan dan tuntutan jaman. Menyadari kondisi tersebut, PIRAC bekerja sama dengan JICA NGO Desk pada Tanggal 4 Juli 2018 menyelenggarakan sebuah pelatihan bertemakan Creative Thinking as a Problem Solving for NGO yang berlangsung di Ruang Jawa, JICA, Jakarta. Para peserta pelatihan merupakan perwakilan NGO-NGO yang tersebar di Jakarta dan luar Jakarta.

Acara dibuka oleh Mr Tatematsu Shingo sebagai JICA Indonesia Representative. Dalam sambutannya Mr Tatematsu Shingo mengatakan bahwa acara ini merupakan salah satu bentuk kontribusi JICA untuk menguatkan kapasitas NGO di Indonesia. Acara dilanjutkan dengan penjelasan alur pelatihan oleh Nor Hiqmah selaku Direktur Eksekutif PIRAC. Hiqmah mengatakan bahwa acara ini merupakan serial yang terdiri dari dua kali pelatihan, yaitu tanggal 4 Juni 2018 dan 1 Agustus 2018.

Materi pertama disampaikan oleh Ari Syarifudin dari PIRAC dengan paparan berjudul: “Berpikir Kreatif dan Inovatif adalah Harga Mati!”. Dengan judul demikian, Ari Syarifudin sengaja menggugah para peserta untuk ‘bangun dari tidur panjang’ dan terlena pada aktivitas yang sudah kadung menjadi business as usual tanpa adanya sentuhan inovasi yang lahir dari sebuah proses kreativitas.

Menurut penjelasan Pak Ari, faktor-faktor kreativitas terdiri dari tiga komponen penggerak yakni pertama adanya motivasi, kedua pengalaman, dan ketiga metode. Dia menjelaskan bahwa komponen penggerak terbesar yang dapat memunculkan kreativitas adalah motivasi. Motivasi yang sederhana terkadang justru menghasilkan inovasi yang tidak ternilai. Seperti yang dialami oleh seorang tokoh penerima Kalpataru dari Tasik Malaya, Mak Eroh.

Di akhir tahun 80-an nama Mak Eroh mencuat karena prestasinya yang luar biasa. Bermula dari keinginan sederhana untuk mengairi sawahnya seluas 400m2, Mak Eroh bekerja keras siang dan malam mencangkuli bukit batu untuk membuat saluran air. Hasilnya ternyata di luar dugaan. Motivasi dan kerja kerasnya tidak saja mengairi 400m2 sawah miliknya tetapi bahkan ribuan Ha sawah milik masyarakat.

Sementara itu pemateri selanjutnya, Pak Endang, menekankan berpikir kreatif melalui eksplorasi gagasan-gagasan dan menghindari adanya ‘hambatan mental’ atau mental blocking. Pak Endang mencoba mengeksplorasi daya kreatif peserta workshop dengan menggali ide-ide visual. Peserta diminta menggambarkan beberapa klue yang diberikan untuk dituangkan ke dalam gambar. Hasilnya cukup mengejutkan. Melalui simulasi sederhana itu dapat ditemukan berbagai potensi kreativitas yang dimiliki oleh semua peserta workshop.

Pelatihan creative thinking ini sangat diperlukan bagi seluruh staf organisasi termasuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk merancang seluruh aktivitas di lembaga masing-masing dan memecah kebuntuan-kebuntuan yang menjadi hambatan pelaksanaan kegiatan maupun program.