Meningkatkan Akuntabilitas Filantropi Media

JAKARTA – Untuk mendorong profesionalisme media dalam pengelolaan donasi publik (Filantropi), PIRAC bersama PFI, Kemensos dan KPI dengan dukungan Yayasan TIFA beberapa waktu lalu duduk bareng membicarakan etika filantropi media. Kegiatan yang digelar dalam bentuk FGD (Focus Group Discussion) melihat secara garis besar praktik kegiatan filantropi media. Dilaksanakan di Gedung Kemensos, Selasa 7 Agustus 2012.

Menurut Direktur PIRAC, Hamid Abidin, M.Si., FGD ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaring saran dan masukan berbagai pihak guna meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas media di Indonesia dalam menggalang, mengelola dan menyalurkan sumbangan sosial masyarakat.

Acara ini dibuka oleh Drs margowiyono M.S.I selaku Diretur Pengumpulan dan Pengelolaan Sumberdaya Bantuan Sosial Kemensos. Selain Kemensos, KPI, PIRAC dan PFI, FGD ini juga dihadiri oleh media yang menegelola bantuan kemanusiaan seperti Pundi Amal SCTV. MNC TV, RCTI Peduli, Global TV dan Yayasan Satu Untuk Negeri dari TV One.

Beberapa point penting hasil FGD ini, lanjut Hamid, menurut Kemensos bahwa media boleh menggalang dan mengelola bantuan sepanjang memiliki struktur tersendiri, entah dalam bentuk yayasan maupun kepentingan dengan rekening yang terpisah.

Bila Kemensos tidak mempersoalkan nama pengelola bantuan di media, KPI justru menentang keras pencantuman nama media untuk pengelolaan bantuan karena bisa menjadi ‘brand imange’ atau bagian dari Public Relation media. “Bila kita mendengar Pundi Amal SCTV, apakah yang beramal SCTV? Kan pemirsanya atau RCTI Peduli, kan yang peduli pemirsa RCTI bukan RCTInya,” jelas ibu Azimah dari KPI.

“Hal lain yang masih jadi polekmik dalam diskusi FGD ini adalah terkait dengan perijinan. Bila pada aturan sebelumnya ijin harus dilakukan 3 bulan, ada usulan untuk merevisinya menjadi 1 tahun dengan laporan triwulan atau persemester. Pada perijinan ini juga masih ada perbedaan antara Kemensos dengan KPI,” jelas Hamid.

Dijelaskan, dalam aturan Kemensos dalam kondisi darurat ijin bisa menyusul maksimal 1 minggu setelah kegiatan penggalangan dana dilakukan namun pada KPI ijin harus dilakukan sebelum kegiatan pengalangan bagaimanapun kondisinya.

Selain perijinan diskusi ini juga membahas terkait dengan pola pengunaan sisa dana, sistem pelaporan dan adanya call center untuk menanggapi keluhan dan kontrol masyarakat terkait dengan penggalangan dana publik oleh media. Point-point inilah yang kemudian menjadi rekomendasi untuk didiskusikan pada FGD berikutnya.

“Pada FGD ini hal yang menjadi kesepeakatan bersama adalah perlunya aturan untuk media dalam penggalangan dana publik. Karena media tidak bebas nilai, ada berbagai kepentingan yang melingkupi media. Karena itulah media perlu ditata dan diberikan aturan main untuk penggalangan dan pengelolaan dana publik,” terang Hamid.

Dilanjutkan Hamid, salah satu peran sosial media yang saat ini paling menonjol adalah keterlibatan mereka dalam menggalang dana sosial masyarakat. Peran itu cukup mengemuka manakala terjadi bencana alam atau musibah. Saat musibah atau bencana berlangsung, media secara spontan membuka program penggalangan dan pendistribusian bantuan dari masyarakat.

Hebatnya, program penggalangan dana ini mendapatkan dukungan dan sambutan yang positif dari masyarakat. Keberhasilan itu terbukti dari melimpahnya bantuannya yang berhasil digalang yang jumlahnya mencapai milayaran rupiah.

Ditegaskan Hamid, di luar potensi dan perannya dalam penggalangan sumbangan, profesionalisme dan akuntabilitas media dalam pendayagunaan sumbangan juga mendapat sorotan. Banyak media yang belum membuat dan memberikan laporan pertanggungjawaban sumbangan secara lengkap.

“Dalam beberapa kasus, penyaluran sumbangan yang dilakukan media juga dinilai tidak tepat sasaran. Belum lagi kasus penyalahgunaan sumbangan masyarakat untuk mendanai program CSR media. Selain itu, Media dianggap kehilangan fungsi kontrolnya ketika ia terlibat langsung dalam distribusi atau pendayagunaan dana yang digalang,” kata Hamid mengakhiri.